Headlines News :
Powered by Blogger.

Showing posts with label MAKALAH PAI. Show all posts
Showing posts with label MAKALAH PAI. Show all posts

JUAL BELI

Oleh : Kemas Sudirman


A.  Pengertian dan Dasar Hukum Jual Beli
Jual beli dalam bahasa arab disebut ba’i. Ba’i adalah suatu transaksi yang dilakukan oleh pihak penjual dengan pihak pembeli terhadap sesuatu barang dengan harga yang disepakati.
Menjual adalah memindahkan hak milik kepada orang lain dengan harga, sedangkan membeli yaitu menerimanya. Allah telah menjelaskan dalam kitab-Nya demikian pula Nabi Shalallahu’alaihi wasallam dalam sunahnya beberapa hukum mu’amalah, karena kebutuhan manusia akan hal itu dan karena butuhnya manusia kepada makanan yang dengannya akan menguatkan tubuh. Demikian pula butuhnya kepada pakaian,  tempat tinggal, kendaraan dan sebagainya dari berbagai kepentingan hidup serta kesempurnaannya.
Juali beli akan langsung berlangsung selama manusia ada di dunia ini. Agar jual beli membawa manfaat bagi kedua belah pihak (penjual dan pembeli), masing-masing pihak harus sama-sama ridha (sama-sama suka).

B.  Rukun dan Syarat Jual Beli
a.   Penjual dan Pembeli dengan Syarat
Penjual adalah pemilik harta yang menjual hartanya atau orang yang diberi kuasa untuk menjual harta orang lain. Penjual harus cakap melakukan penjualan (mukallaf).
Adapun syarat-syaratnya  yang telah disebutkan dalam kitab Fiqh Islam antara lain :
a)   Berakal, agar dia tidak berkecoh orang yang gila atau bodoh tidak sah jual belinya.
b)   Baligh
c)   Dengan kehendak sendir (bukan dipaksa)
d)   Tidak mubadzir (pemboros), sebab harta orang yang mubadzir itu ditangan walinya.
Adapun anak-anak yang sudah mengerti tetapi belum sampai umur dewasa. Menurut sebagian pendapat ulama, mereka diperbolehkan berjual beli barang yang kecil-kecil, karena kalau tidak diperbolehkan, sudah tentu menjadi kesulitan dan kesukaran, sedangkan agama Islam sekali-kali tidak akan menetapkan peraturan yang mendatangkan kesulitan kepada pemeluknya.
b.   Uang dan Barang yang Dibeli dengan Syarat
Sesuatu yang dibolehkan oleh syara’ untuk dijual dan diketahui sifatnya oleh pembeli, syaratnya yaitu :
a.   Suci, barang najis tidak sah diperjualbelikan
b.   Ada manfaatnya
c.   Keadaan barang atau uang dapat diserahterimakan
d.   Keadaan barang kepunyaan yang menjual atau yang mewakili
e.   Barang tersebut diketahui oleh penjual dan pembeli baik zat, bentuk kadar (ukuran) dan sifat-sifatnya jelas sehingga antara keduanya tidak akan terjadi kebohongan.
c.   Lafadz (kalimat ijab dan qabul)
Ijab artinya perkataan penjual, sedangkan qabul yaitu penerimaan dari pembeli, ijab dan qabul harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a)   Keadaan ijab dan qabul bersambung
b)   Hendaklah mufakad makna keduanya walaupun lafaz keduanya berlainan.
c)   Ketika mengucapkan shigat harus disertai niat (maksud)
d)   Pengucapan ijab dan qabul harus sempurna
e)   Harus menyebutkan barang atau harga
f)    Keadaan keduanya tidak diisyaratkan dengan yang lain
g)   Tidak berjangka

C.  Bentuk-Bentuk Jual Beli yang Dilarang
a.   Bentuk-Bentuk Jual Beli
a)   Jual Beli Sahih, yakni jika jual beli itu disyariatkan, memenuhi rukun dan syarat yang ditentukan, barang yang diperjualbelikan bukan milik orang lain dan tidak terkait dengan hak khiyar lagi.
b)   Jual beli yang Bathil, yakni jika jual beli  itu salah satu atau seluruh rukunnya tidak terpenuhi atau jual beli itu dan sifatnya tidak disyariatkan. Misalnya jual beli sesuatu yang tidak bisa diserahkan kepada pembeli. Jual beli yang mengandung unsur penipuan, jual beli benda najis dan lainnya.
c)   Jual beli Fasid, yakni apabila kerusakan pada jual beli itu menyangkut harga barang dan boleh diperbaiki. Jual beli yang dilakukan orang buta juga termasuk jual beli Fasid, jual beli dengan barter harga yang diharamkan dan lainnya.

b.   Jual Beli yang Dilarang
a)   Menjual barang yang dibeli sebelum diterima barangnya
b)   Menjual barang untuk mengungguli penjualan orang lain
c)   Membeli dengan menaikan harga barang, padahal tidak bermaksud unuk membelinya.
d)   Memperjualbelikan barang haram dan najis
e)   Jual beli ghuhur (yang terdapat unsur penipuan di dalamnya)
f)    Jual beli dengan dua bentuk transaksi pada satu barang atau harta
g)   Membeli suatu barang atau harta kepada orang yang sedang menuju ke pasar.

D.  Manfaat dan Hikmah Jual Beli
Banyak manfaat dan hikmah jual beli diantaranya :
a.   Masing-masing pihak merasa puas
b.   Dengan adanya jual beli menghindarkan manusia memiliki barang atau memakan makanan yang bukan haknya.
c.   Dapat digunakan untuk nafkah keluarga
d.   Penjual dan pembeli akan merasa lapang dada saat terjadi tawar menawar yang diakhiri dengan saling ridha.



DAFTAR PUSTAKA


Lahmudin Nasution. Fiqih. Bandung : Logos.

Al-Bukhari, Al-Imam.1981. Shahib Bikhari. Surabaya: PT. Asyriyah.



Pinjam Meminjam

Oleh: Kemas Sudirman

A.  Pinjam Meminjam
Pinjam meminjam adalah memberikan manfaat suatu barang kepada seseorang dengan tidak mengurangi atau merusak dan dikembalikan pada waktu yang disepakati kedua belah pihak. Pinjam meminjam terjadi karena adanya sebagian masyarakat yang memerlukan sesuatu, sedangkan dirinya tidak memiliki sesuatu yang diperlukan. Apabila kedua pihak mufakat, terjadilah peristiwa pinjam meminjam.
B.  Hukum Pinjam Meminjam
Hukum pinjam meminjam ini yaitu sunnah, sama dengan hukum tolong menolong yang lain. Dan hukum sunnah, hukum pinjam meminjam dapat menjadi wajib dan dapat pula menjadi haram. Meminjamkan sesuatu menjadi wajib apabila dalam keadaan yang mengharuskan. Contoh pinjam meminjam yang hukumnya wajib adalah :
a.  Meminjamkan uang untuk biaya berobat bagi orang sakit yang terancam mati (jika tidak segera berobat).
b.  Meminjamkan tangga untuk menolong orang yang tercebur ke dalam sumur.

Meminjamkan menjadi haram hukumnya apabila barang yang dipinjamkan untuk berbuat maksiat, sebagaimana contoh berikut :
a.  Seseorang meminjamkan mobil untuk merampok Bank.
b.  Seseorang meminjamkan uang yang dimiliki untuk membeli narkoba.
c.  Seseorang meminjamkan rumah kosong untuk berjudi.

C.  Manfaat Pinjam Meminjam
Dalam kenyataan hidup sehari-hari, pinjam meminjam sangat besar manfaatnya terutama bagi masyarakat miskin. Yaitu untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Oleh sebab itu, pinjam meminjam perlu dibudidayakan dalam hidup masyarakat, orang-orang yang mampu hendaknya merelakan sebagian hartanya untuk dipinjamkan kepada orang yang kurang mampu.


D.  Rukun dan Syarat Pinjam Meminjam
Rukun meminjam berarti bagian pokok dari pinjam meminjam itu sendiri. Apabila kurang salah satu rukun saja, niscaya tidak terjadi pinjam meminjam. Syarat pinjam meminjam berarti hal-hal yang harus dipenuhi dalam pinjam meminjam. Apabila tidak dipenuhi syarat pinjam meminjam, maka pinjam meminjam yang dilakukan tidak sah.
Rukun dan syarat dalam pinjam meminjam meliputi pihak yang meminjamkan, peminjam, barang yang dipinjamkan, dan ikrar pinjam meminjam.
a)  Yang meminjamkan disyaratkan :
-         Benar-benar pemilik barang yang dipinjamkan, atau yang memiliki  tanggung jawab terhadap barang tersebut.
-         Berhak berbuat kebaikan (mengambil manfaat dari barang yang dipinjam)
-         Berusaha agar barang yang dipinjam tidak rusak.
b)  Peminjam (mu’ir) disyaratkan
-         Berakal sehat
-         Mampu berbuat kebaikan
-         Berusaha agar barang yang dipinjam tidak rusak
-         Setelah meminjam harap segera dikembalikan
c)  Barang yang dipinjamkan (musta’ar) disyaratkan :
-         Benar-benar ada manfaatnya
-         Bersifat tetap (tidak rusak saat diambil manfaatnya) makanan tidak boleh dipinjamkan”.

E. Ikrar (Pernyataan Peminjam dan yang Meminjam)
Contoh ikrar adalah :
Peminjam mengatakan kepada pemilik mobil:
“Hai Fulan. Bolehkah aku meminjam mobil kijangmu untuk mengantar orang sakit berobat”?.
Pemilik mobil menjawab :
“Baiklah, tetapi jangan lewat tiga jam karena saya tiga jam lagi mau menggunakannya”.
Apabila pinjam meminjam tersebut terjadi dalam waktu yang agak lama atau dalam jumlah yang besar, sebaiknya dibuat surat perjanjian jika dipandang perlu. Diadakan dua orang saksi yang disetujui kedua belah pihak (peminjam dan yang memberi pinjaman).

DAFTAR PUSTAKA 

Rasjid H. Sulaiman. 1993. Fiqh Islam. Bandung : Trigenda Karya.


Beberapa Tokoh penyebar Islam tahap awal di Indonesia

Oleh : Kemas Sudirman


A.  Syekh Abdul Rauf As-Singkel
Abdul Rauf Singkel yang bernama panjang Syekh Abdul Rauf bin al-Jawi al-Fansuri al-Singklili, lahir di Fansur. Lalu di besarkan di Singkil pada awal abad ke 17 M. Ayahnya adalah Syekh Ali Fansuri yang masih bersaudara dengan Syekh Hamzah Fansuri.
A. Rinkes memperkirakan bahwa Abdul Rauf lahir pada tahun 1615 M. Ini didasarkan perhitungan ketika Abdul Rauf kembali dari Mekkah, usianya antara 25 dan 30 tahun (lihat Abdul Hadu WM, 2006:24)menyatakan bahwa perkiraan itu bisa meleset, karena Abdul Rauf berada di Mekkah sekitar 19 tahun. Dan kembali ke Aceh pada tahun 1661. Bila dalam usia 30 tahun ia kembali dari Mekkah, berarti ia dilahirkan pada 1630.
Selama sekitar 19 tahun menghimpun ilmu di Timur Tengah Abdul Rauf tidak hanya belajar di Mekkah saja. Ia juga mempelajari ilmu keagamaan dan tasauf di bawah bimbingan guru-guru yang termasyhur di Madinah. Di kota ini ia belajar kepada kholifah (pengganti) dari tarekat Syah Tariyah yaitu Ahmad Kursyayi dan penggantinya. Mula ibrahim Qurani (Braginsky, 1998:474) dalam kata penutup salah satu karya tasaufnya, Abdul Rauf menyebutkan guru-gurunya . data yang cukup lengkap tentang pendidikan dan tradisi pengajaran yang diwarisinya ini merupakan data pertama tentang pewarisan suvisme dikalangan suvi melayu. Ia juga menyebutkan beberapa  kota Yaman (Zabit, Moha, Bait Alfahki dll). Doha di Semenanjung Qatar, Madinah, Mekah dan Lohor di India. Di samping itu ia juga menyebuktkan dafar 11 tarekat suvi yang diamalkannya. Antara lain Syat Tariyah, Kadariyah, Kubrariya, Suhrawardiyah dan naqsabandiyah (Branginsky, 1998:474).

B.  Syekh Jumadil Qubro
Syekh Jumadil Qubro adalah tokoh yang sering disebutkan dalam berbagai babat dan cerita rakyat sebagai salah seorang pelopor penyebaran Islam di tanah Jawa. Ia umumnya dianggap bukan keturunan Jawa melainkan asal dari Asia Tengah. Terdapat beberapa versi babat yang menyakini bahwa ia adalah keturunan ke 10 dari Husain bin Ali, yaitu cucu Nabi Muhammad SAW. Sedanhkan Martin Van Brunaisen (1994) menyatakan bahwa ia adalah tokoh yang sama dengan Jamaludin Akbar (lihat keterangan Syekh Maulana Akbar di bawah ini).
Sebagian babat berpendapat bahwa Syekh Jumadil Qubro memiliki dua anak yaitu Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik) dan Maulana Ishak yang bersama-sama dengannya datang ke pulau Jawa, Syekh Jumadil Qubro kemudian tetap di Jawa. Maulana Malik Ibrahim  champa dan adiknya Maulana Ishak mengislamkan Samudra Pasai dengan demikian beberapa wali songo yaitu Sunan Ampel (Raden Ahmad) dan Sunan Giri (Raden Paku) adalah cucu, sedangkan Sunan Bonang, Sunan Drajat dan Sunan Qudus adalah cicitnya. Hal tersebut menyebabkan adanya pendapat yang mengatakan bahwa para wali songo merupakan keturunan etnis uzbetz yang dominan di Asia Tengahh. Selain kemnungkinan lainnya yaitu etnis Persia, Gujarat, ataupun Hadra maut.

C.  Syekh Maulana Akbar
Syekh Maulana Akbat adalah seorang tokoh di abad 14-15 yang dianggap merupakan pelopor penyebaran Islam di tanah Jawa. Nama lainnya ialah Syekh Jamaludin Akbar dari Gujarat dan ia kemungkinan besar adalah juga tokoh yang dipanggil dengan nama Syekh Jumadil Qubro, sebagaimana tersebut di atas. Hal ini adalah menurut penelitian Martin Vanbruenesen (1994) yang menyatakan bahwa nama Jumadil Qubro sesungguhnya adalah berubahan hiver-correct. di atas nama Jumadil Akbar oleh masyarakat Jawa

D.  Syekh Datuk Kahfi
Syekh datuk kahfi adalah mubaligh asal Baghdad memilih markas di pelabuhan muara jati yaitu kota Cirebon sekarang. Ia bernama asli Idhafi Ahdi.
Majelis pengajiannya menjadi terkenal karena didatangi oleh nyai Rara Santung dan Kian Santang (Pangeran Cakrabuana) yang merupakan putra putri nyai Subanglarang dari pernikahannya dengan Raja Pajajaran dari wangsa Siliwangi, ditempat pengajian inilah tampaknya nyai Rara Santung bertemu atau dipertemukan dengan Syarif Abdullah. Cucu Syekh Maulana Akbar Gujarat. Setelah mereka menikah. Lahirlah raden syarif hidayatullah kemudian dikenal sebagai Sunan Gunung Jati. Makan Syekh Datuk Kahfi ada di gunung  Jati.

E.  Syekh Khalidul Idrus
Syekh Khalidul Idrus  adalah seorang mubaligh Parsi yang berdakwa di Jepara. Menurut suatu penelitian, ia diperkirakan adalah Syekh Abdul Kholiq. Dengan Laqob Al-Idrus. Anak dari Syekh Muhammad Al-Alsy yang wafat di Isfahan Parsi.
Syekh Abdul Khalidul Idrus di Jepara menikahi salah seorang cucu Syekh Maulana Akbar yang kemudian melahirkan Raden Muhammad Yunus. Raden Muhammad Yunus kemudian menikahi salah seorang putri Majapahit hingga mendapat gelar Wong Agung Jepara. Pernikahan Raden Muhammad Yunus dengan Putri Majapahit di Jepara ini kemduian melahirkan Raden Abdul Qadir yang menjadi menantu Raden Patah, bergelar Adipati bin Yunus atau Pati Unus. Setelah gugur di Malaka 1521, Pati Unus dipanggil dengan sebutan Pangeran Sebrang Lor.



DAFTAR PUSTAKA


Dewan Redaksi. 2005. Ensiklopedia Islam.  Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Hoeve.  

Syalabi, Ahmad. 1987. Sejarah Kebudayaan Islam.  Jakarta : Pustaka Al-Husna.




MANDI


Oleh : Kemas Sudirman, S.Pd.I

A.   Pengertian Mandi
Mandi janabah adalah mandi untuk menghilangkan hadats besar. Sebab-sebab seseorang dinyatakan berhadas besar karena berikut ini:
a)    Melakukan hubungan suami isteri, baik sampai keluar air mani maupun tidak
b)    Keluar mani, baik sengaja maupun tidak sengaja
c)    Selesai menjalankan masa haid dan nifas (bagi wanita)
d)    Seorang Islam yang meninggal dunia (kecuali mati syahid)
e)    Seorang kafir yang baru masuk Islam
Wanita yang habis melahirkan harus menunggu sampai habis masa nifas. Setelah masa nifas berakhir barulah mandi janabah.
Hadas besar sebagaimana tersebut di atas hanya dapat disucikan dengan cara mandi janabah. Bagi yang berhalangan mengunakan air karena suatu sebab, mandi janabah boleh diganti dengan tayamum. Tayamum sebagai pengganti mandi janabah sama dengan tayamum pengganti wudhu.

B.   Macam-macam Mandi
1.    Mandi Sunah
Selesai mandi wajib atau mandi besar (janabah) dalam ajaran Islam terdapat jenis mandi yang dianjurkan artinya apabila dikerjakan tidak berdosa, mandi seperti ini disebut mandi sunah. Adapun yang termasuk mandi sunah sebagai berikut:
a.            Mandi hari Jum’at. Maksudnya adalah bahwa setiap orang yang hendak melaksanakan salat Jum’at disunahkan mandi.
b.    Mandi setelah memandikan jenazah. Setiap orang yang selesai memandikan jenazah dianjurkan untuk mandi.
c.    Mandi setelah sembuh dari gila. Orang gila yang telah sembuh atau sadar kembali disunahkan melakukan mandi sebab dalam keadaan gila mungkin ia junub tetapi tidak sadar.
d.    Mandi hari raya Id. Mandi hari raya Id adalah mandi yang dilaksanakanj sebelum seseorang berangkat mengerjakan shalat Idul Fitri dan hari raya Idul Adhah.
e.    Mandi ketika akan melaksanakan ihram haji dan ihram umrah
f.     Mandi ketika pertama kali masuk kota Mekah
g.    Mandi ketika akan wukuf di Padang Arafah
h.    Mandi akan pergi sholat istisqa’
i.      Mandi ketika akan pergi salat gerhana matahari
j.      Mandi ketika akan pergi shalat gerhana bulan
k.    Mandi ketika akan melaksanakan sa’i
l.      Mandi ketika akan mengerjakan tawaf.

2.    Sebab-sebab mandi wajib
Yang dimaksud sebab mandi mandi wajib adalah hal-hal yang menyebabkan seseorang itu wajib mandi. Adapun yang mewajibkan seseorang itu mandi (mandi wajib) adalah sebagai berikut:
a.    Keluarnya air mani
b.    Haid (menstruasi)
c.    Mati atau meninggal dunia
d.    Nifas
e.    Wiladah/melahirkan
f.     Jima’ atau berhubungan suami isteri

C.   Syarat, Rukun, dan Sunat Mandi Janabah
1.    Syarat wajib mandi besar atau mandi janabah
Syarat wajib mandi besar atau mandi janabah adalah sebagai berikut:
a)    Orang yang berhadas besar hendak menjalankan shalat
b)    Tidak berhalangan untuk mandi (jika mandi tidak membahayakan kesehatannya). Apabila dengan mandi dapat membahayakan kesehatannya, mandi janabah cukup diganti dengan tayamum.
2.    Rukun mandi besar atau mandi janabah
Rukun mandi janabah adalah hal yang wajib dikerjakan waktu mandi besar, yaitu sebagai berikut:
a)    berniat, yakni niat membersihkan atau menyucikan diri dari hadas besar (niat tidak perlu diucapkan)
b)    meratakan air ke seluruh tubuh, mulai dari rambut di kepala sampai kulit telapak kaki.
c)    Tertib, yakni dilakukan secara berurutan
3.    Sunah mandi besar atau mandi janabah
Sunah mandi besar adalah hal-hal yang dianjurkan dalam melakukan mandi, diantaranya adalah sebagai berikut:
a)    Membaca basmalah pada awalnya
b)    Berwudhu sebelum mandi
c)    Menggosok seluruh badan dengan tangan
d)    Mendahulukan bagian yang akan (saat menyiram) baru yang kiri
e)    Menutup aurat, di tempat yang tersembunyi atau mandi di dalam kamar mandi yang tertutup.

D.   Tata Cara Mandi Besar/Mandi Janabah
Mandi besar/mandi janabah memiliki kaifiah atau cara-cara khusus yang berbeda dengan mandi biasa. Cara-cara mandi janabah adalah sebagai berikut:
a.    Membasuh kedua tangan terlebih dahulu dengan niat ikhlas karena Allah SWT semata.
b.    Membasuh kemaluan dengan tangan kiri, kemudian menggosokkan tangan ke tanah atau yang lain (jika sekiranya ada bekas darah atau air mani yang melekat di tangan).
c.    Berwudu sebagaimana hendak salat
d.    Memasukkan jari-jari dengan dibasahi air ke pangkal rambut
e.    Menuangkan air ke atas kepala tiga kali, diteruskan seperti mandi biasa.
f.     Membasuh kedua kaki (mendahulukan kaki kanan yang kiri)
Adapun alat yang dipakai mandi besar/janabah antara lain; sabun mandi dan sampo. Di samping itu tidak ada keterangan dari Rasulullah SAW yang menjelaskan tentang alat yang dipakai untuk menadi besar/janabah oleh sebab itu kita bebas menggunakan alat-alat tersebut secukupnya.

E.   Manfaat Mandi Besar
Jika dilihat sepintas, tampaknya kewajiban mandi besar/janabah membuat orang susah. Namun, apabila kita perhatikan, ternyata mandi besar/janabah yang diwajibkan oleh agama itu memberi manfaat bagi manusia, baik secara rohani maupun jasmani.
Secara rohani, orang telah merasa bebas dari perkara yang menurut agama dipandang kurang bersih, secara jasmani dengan mandi besar/janabah badan akan terasa segar kembali karena terguyur air. Halk ini dapat kita buktikan seperti mandi sehabis bekerja berat dan terasa lelah karena kerja tersebut akan hilang dan berganti segar dengan mandi sekujur badan dengan demikian jelaslah bahwa disyariatkannya mandi besar/janabah adalah untuk manusia itu sendiri.


DAFTAR  PUSTAKA



Abu Bakar, Bahrain. 1993. Mahkota Pokok-pokok Hadits Rasulullah AW. Bandung: PT. Sinar Baru

Bukhari, Imam. 1981. Shahih Bukhari. Surabaya: Asriyah

Halim. K. 1983. TAfsir Al Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas.







Musaqah, Muzara’ah dan Mukhabarah


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Musaqah ialah pemilik kebun yang memberikan kebunnya kepada tukang kebun agar dipeliharanya, dan penghasilan yang didapat dari kebun itu dibagi antara keduanya, menurut perjanjian keduanya sewaku akad. Mukhabarah dan muzara'ah adalah paroan sawah atau ladang yang benihnya bisa dari pemilik tanah dan penggarap.
Memang banyak orang yang mempunyai kebun, tapi tidak dapat memeliharanya, sedang yang lain tidak memiliki kebun tapi sanggup bekerja. Maka dengan adanya peraturan seperti ini keduanya dapat hidup dengan baik.
Dalam Musaqah, muzara'ah dan mukhabarah, sering terjadi permasalahan dikalangan masyarakat, meskipun ketentuan-ketentuan dan syarat sudah ada, tapi sering terjadi kesalahpahaman antara pemilik tanah dengan penggarap dari segi hasilnya, karena hasil yang diharapkan terkadang tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan, dan juga mengenai hal benih yang akan ditanam.
Dari permasalahan seperti ini, penulis bermaksud dalam makalah ini, untuk menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan itu, supaya tidak terjadi kesalahpahaman antara pemilik dengan penggarap.

B.     Rumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah yang akan kami bahas pada makalah ini adalah mengenai :
a.       Pengertian Musaqah, Muzara’ah dan Mukhabarah
b.      Dasar Hukum Musaqah, Muzara’ah dan Mukhabarah
c.       Rukun dan Syarat Musaqah, Muzara’ah dan Mukhabarah


C.    Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui lebih jauh mengenai :
a.       Pengertian Musaqah, Muzara’ah dan Mukhabarah
b.      Dasar Hukum Musaqah, Muzara’ah dan Mukhabarah
c.       Rukun dan Syarat Musaqah, Muzara’ah dan Mukhabarah


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Musaqaah
      1.      Pengertian Musaqah
Musaqah diambil dari kata Al-saqa yaitu seseorang bekerja pada pohon tamar, anggur (mengurusnya) atau pohon-pohon yang lainnya supaya mendatangkan kemashlahatan dan mendapatkan bagian tertentu dari hasil yang di urus sebagai imbalan.[1]
Muasaqah adalah salah satu bentuk penyiraman. Adapun menurut istilah adalah: Menurut Abdurrahman Al-Jaziri: “Akad untuk pemeliharaan pohon; kurma, tanaman (pertanian) dan yang lainnya dengan syarat-syarat tertentu.
Menurut Malikiyah: “Sesuatu yang tumbuh ditanah.
Menuut Syafi’iyah: ” Membeikan pekerjaan orang yang memiliki pohon tamar dan anggur kepada orang lain untuk kesenangan keduanya dengan menyiram, memelihara, dan menjaganya dan bagi pekerja memperoleh bagian tertentu dari buah yang dihasilkan pohon-pohon tersebut. 
Menurut Hanabilah musaqah mencakup dua hal yaitu:
·         Pemilik menyerahkan tanah yang sudah ditanami, seperti pohon anggur, kurma dan yang lainnya, baginya ada buahnya yang dimakan sebagai bagian tertentu dar buah pohon tersebut.
·         Seseorang menyerahkan tanah dan pohon, pohon tersebut belum ditanamkan yang menanamkan akan memperoleh bagian tertentu dari buah pohon yang ditanamnya.[2]
Menurut Syaikh Syihab al-Din al-Qalyubi dan Syaikh Umairah: “memperkerjakan manusia untuk mengurus pohon dengan menyiram dan memeliharanya dan hasil yang dirizkikan Allah dari pohon itu untuk mereka berdua.
Menurut Hasbi Ash-Shiddiqi: “Syarikat pertanian untuk memperoleh hasil dari pepohonan.[3]
Dapat disimpulkan dari definisi-definisi diatas bahwa musaqah adalah akad antara pemilik dan pekerja untuk memelihara pohon, sebagai upahnya adalah buah dari pohon yang diurusnya.

      2.      Dasar Hukum Musaqah
Dasar hukumnya yaitu Al-hadits yang di riwayatkan oleh Imam Muslim dari Ibnu Amr ra bahwa Rasulullah saw bersabda, yang artinya : “Memberikan tanah khaibar dengan bagian separoh dari penghasilan, baik buah-buahan maupun pertanian . Pada riwayat lain dinyatakan bahwaRasul menyerahkan tanah khaibar itu kepada Yahudi, untuk diolah dan modal dari hartanya, penghasilan separohnya untuk nabi.”[4]

      3.      Rukun dan Syarat Musaqah
Rukun Musaqah:
1)      Shigat, yang dilakukan kadang-kadang dengan jelas dan samaran, yang disyaratkan dengan lafadz dan tidak cukup dengan perbuatan saja.
2)      Dua orang yang akad (al-aqidain), dengan syarat baligh, berakal dan tidak berada dibawah pengampuan.
3)      Objek musaqah (kebun dan semua pohon yang berbuah)
4)      Masa kerja, hendaklah ditentukan lama waktu yang akan dikerjakan.
5)      Buah, hendaklah ditentukan bagian masing-masing.[5]

Syarat-syarat musaqah:
1)      Ahli dalam akad
2)      Menjelaskan bagian penggarap
3)      Membebaskan pemilik dari pohon
4)      Hasil dari pohon dibagi antara dua orang yang melangsungkan akad
5)      Sampai batas akhir, yakni menyeluruh sampai akhir.

      4.      Hukum Musaqah
a.       Hukum musaqah sahih
Menurut ulama Hanafiyah hukum musaqah sahih adalah:
·         Segala pekerjaan yang berkenaan dengan pemeliharaan pohon diserahkan kepada penggarap, sedang biaya yang diperlukan dalam pemeliharaan dibagi dua,
·         Hasil dari musaqah dibagi berdasarkan kesepakatan,
·         Jika pohon tidak menghasilkan sesuatu, keduanya tidak mendapatkan apa-apa,
·         Akad adalah lazim dari kedua belah pihak,
·         Pemilik boleh memaksa penggarap untuk bekerja kecuali ada uzur,
·         Boleh menambah hasil dari ketetapan yang telah disepakati,
·         Penggarap tidak memberikan musaqah kepada penggarap lain kecuali jika di izinkan oleh pemilik[6]

Menurut ulama Malikiyah:
·         Sesuatu yang tidak berhubungan dengan buahtidak wajib dikerjakandan tidak boleh disyaratkan,
·         Sesuatu yang berkaitan dengan buah yang membekas di tanah tidak wajib dibenahi oleh penggarap.
·         Sesuatu yang berkaitan dengan buah tetapi tidak tetap adalah kewajiban penggarap, seperti menyiram atau menyediakan alat garapan, dan lain-lain.
Menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabilah sepakat dengan ulama Malikiyah akan tetapi menambahkan bahwa segala pekerjaan yang rutin setiap tahun adalah kewajiban penggarap, sedangkan pekerjaan yang tidak rutin adalah kewajiban pemilik tanah.[7]

b.      Hukum Musaqah fasid
Musaqah fasid adalah akad yang tidak memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan syara’. Menurt ulama Hanafiyah, musaqah fasid meliputi:
·         Mensyaratkan hasil musaqah bagi salah seorang dari yang akad,
·         Mensyaratkan salah satu bagian tertentu bagi yang akad,
·         Mensyaratkan pemilik untuk ikut dalam penggarapan,
·         Mensyaratkan pemetikan dan kelebihan pada penggarap,
·         Mensyaratkan penjagaan pada penggarap setelah pembagian,
·         Mensyaratkan kepada penggarap untuk terus bekerja setelah habis waktu akad,
·         Bersepakat sampai batas waktu menurut kebiasaan,
·         Musaqah digarap oleh banyak orang sehingga penggarap membagi lagi kepada penggarap lainnya.

      5.      Habis Waktu Musaqah
Menurut ulama Hanafiyah, musaqah dianggap selesai apabila:
o   Habis waktu yang telah disepakati oleh kedua belah pihak yang akad
o   Meninggalnya salah seorang yang akad
o   Membatalkan, baik dengan ucapan jelas atau adanya uzur.

Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat musaqah selesai jika habis waktu.


B.     Muzara’ah dan Mukhabarah
      1.      Pengertian Muzara’ah dan Mukhabarah
Menurut etimologi, muzara,ah adalah wajan “mufa’alatun” dari kata “az-zar’a” artinya menumbuhkan. Al-muzara’ah memiliki arti yaitu al-muzara’ah yang berarti tharhal-zur’ah (melemparkan tanaman), maksudnya adalah modal.
Sedangkan menurut istilah muzara’ah dan mukhabarah adalah:
Ulama Malikiyah; “Perkongsian adalah bercocok tanam”
Ulama Hanabilah: “Menyerahkan tanah kepada orang yang akan bercocok tanam atau mengelolanya, sedangkan tanaman hasilnya tersebut dibagi antara keduanya.
Ulama Syafi’iyah: “Mukhabarah adalah mengelola tanah di atas sesuatu yang dihasilkan dan benuhnya berasal dari pengelola. Adapun mujara’ah, sama seperti mukhabarah, hanya saja benihnya berasal dari pemilik tanah.”[8]

     2.      Dasar Hukum Mukhabarah dan Muzara’ah
Dasar hukum yang digunakan para ulama dalam menetapkan hukum mukhabarah dan muzara’ah adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Nuslim dari Ibnu Abbas r.a. yang artinya “Sesungguhnya Nabi Saw. menyatakan, tidak mengharamkan muzara’ah, bahkan beliau menyuruhnya, supaya yang sebagian menyayangi sebagian yang lain, dengan katanya, barangsiapa yang memiliki tanah, maka hendaklah ditanaminya atau diberikan faedahnya kepada saudaranya, jika ia tidak mau, maka boleh ditahan saja tanah itu.”

     3.      Rukun dan Syarat Muzara’ah
Rukun muzara’ah
1)      Tanah
2)      Perbuatan pekerja
3)      Modal
4)      Alat-alat untuk menanam

Syarat-syarat Muzara’ah:
Syarat aqid (orang yang melangsungkan aqad)
1)      Syarat tanaman
2)      Hal yang berkaitan dengan perolehan hasil dari tanaman
3)      Hal yang berhubungan dengan tanah yang akan ditanami
4)      Hal yang berkaitan dengan waktu
5)      Syarat alat becocok tanam.

       4.      Hukum Muzara’ah
a.       Hukum muzara’ah sahih
Menurut ulama Hanafiyah, hukum mujara’ah yang sahih adalah sebagai berikut:
·         Segala keperluan untuk memelihara tanaman diserahkan kepada penggarap.
·         Pembiayaan atas tanaman dibagi antara penggarap dan pemilik tanah.
·         Hasil yang diperoleh dibagikan berdasarkan kesepakatan waktu akad.
·         Menyiran atau menjaga tanaman.
·         Dibolehkan menambah penghasilan dan kesepakatan waktu yang telah ditetapkan.
·         Jika salah seorang yang akad meninggal sebelum diketahui hasilnya, penggarap tidak mendapatkan apa-apa sebab ketetapan akad didasarkan pada waktu.[9]


b.      Hukum Muzara’ah fasid
Menurut ulama Hanafiya, hukum muzara’ah fasid adalah:
·         Penggarap tidak berkewajiban mengelola.
·         Hasil yang keluar merupakan pemilik benih.
·         Jika dari pemilik tanah, penggarap berhak mendapatkan upah dari pekerjaannya.

      5.      Habis Waktu Muzara’ah
Beberapa hal yang menyebabkan mujara’ah habis:
·         Habis mujara’ah.
·         Salah seorang yang akad meninggal.
·         Adanya uzur.

     6.      Hikmah Muzara’ah dan Mukhabarah
Muzara’ah dan mukhabarah disyariatkan untuk menghindari adanya pemilikan hewan ternak yang kurang bisa dimanfaatkan karena tidak ada tanah untuk diolah dan menghindari tanah yang juga dibiarkan tidak diproduksikan karena tidak ada yang mengolahnya.
Muzara’ah dan mukhabarah terdapat pembagian hasil. Untuk hal-al lainnya yang bersifat teknis disesuaikan dengan syirkah yaitu konsep bekerja sama dalam upaya menyatukan potensi yang ada pada masing-masing pihak dengan tujuan bisa saling menguntungkan.[10]



BAB III
PENUTUP


A.    Kesimpulan
Musaqah adalah akad antara pemilik dan pekerja untuk memelihara pohon, sebagai upahnya adalah buah dari pohon yang diurusnya. Muasaqah adalah salah satu bentuk penyiraman.
Muzara'ah adalah paroan lahan atau sawah yang benihnya berasal dari petani atau orang yang akan menggarap lahan tersebut.
Muhkabarah adalah paroan sawah atau lahan yang benihnya berasal dari pemilik tanah.
Adapun sistem pembagian hasilnya disesuaikan dengan ketentuan sebelumnya antara pemilik tanah dan penggarap.

B. Saran
Demikianlah pembahasan dari kelompok kami, semoga dapat bermanfaat bagi kita semua dalam rangka memahami materi ajar yang sesuai dengan pembahasan dan penjelasannya.




DAFTAR PUSTAKA


Suhendi, Hendi. Fiqih Muamalah, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005
Syafe'i, Rahmat. Fiqih Muamalah, Pustaka Setia, Bandung, 2001
Rasjid, Suliman. Fiqih Islam, Sinar Baru Algensindo, Bandung, 19
94


[1] Suhendi. Fiqih Muamalah. Jakarta: PT. Raja Grapindo. 2008. Hal. 146
[2] Ibid. hal. 147
[3] Syafei, Rahmat. Fiqih Muamalah. Bandung: Pustaka Setia. 2001. Hal. 89
[4] Rasjid, Sulaiman. Fiqih Islam. Bandung: Sinar Baru Alresindo. 1994. Hal 63
[5] Suhendi. Opcit hal. 148.
[6] Suhendi. Opcit. Hal. 70
[7] Ibid. hal. 65
[8] Suhendi. Logcit. 153
[9] Syafei. Logcit. Hal. 98
[10] Logcit. Hal 95
 

SES Cinema

SES Cinema
Seventy Elementary School Cinema

INFO BARU:

Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Berbagi Tak Akan Rugi - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger